adf.ly

Minggu, 24 Oktober 2010

Sumber pendapatan negara

Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Gayus Tambunan seorang pegawai biasa di Direktorat Jenderal Pajak diduga memiliki rekening mencurigakan hingga Rp 28 Miliar, tinggal di rumah mentereng, punya apartemen di Singapura, gonta-ganti mobil mewah dan bahkan kabur ke luar negeri.
Gayus Tambunan diketahui memang sering mengurus berkas keberatan di pengadilan pajak. Menurut Kasubag Persidangan II Administrasi Sengketa Pajak M. Adnan Abdullah, Gayus datang ke Pengadilan Pajak sebagai wakil Dirjen Pajak. Keberatan itu muncul karena ada perbedaan hitungan surat keputusan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak yang tidak menyetujui. Gayus datang mewakili kantor pajak. "Gayus mewakili terbanding (Dirjen Pajak), terkenal ngotot dalam sidang, ngotot mempertahankan pendapat terbanding," kata Adnan. Adnan memberi contoh misal kantor pajak memutus pajak yang harus dibayar wajib pajak itu Rp 1 juta, sementara wajib pajak hanya menyetujui Rp 100 ribu, maka ada Rp 900 ribu yang menjadi koreksi dan keberatan wajib pajak. Tugas Gayus sebagai terbanding atau tergugat dalam hal ini adalah mencari bukti Rp 900 ribu agar Kantor Pajak bisa menang sehingga wajib pajak itu harus membayar Rp 1 juta. Celah suap itu kemungkinan muncul, karena Gayus memang dengan sengaja 'mengalahkan' Kantor Pajak terhadap Wajib Pajak. (vivanews.com, 30 Maret 2010).

Sebagaimana hasil studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak yang dilakukan Indonesia Corruption Watch tahun 2001, salah satu dari pola korupsi pajak adalah transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan. Baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapatkan pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara petugas pajak mendapatkan komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak “diperas” oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu, tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas. (Koran tempo, 19 Januari 2007). Pola semacam ini yang digunakan Gayus. Pola ini pula yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie maupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah. (Koran tempo, 19 Januari 2007)
Gayus Tambunan mengakui modus yang dilakukannya juga dilakukan oleh ratusan petugas pajak lain. Hal itu terungkap dari pemeriksaan Gayus di Bareskrim Polri. “Ketika diperiksa, Gayus bilang saya adalah salah satu dari ratusan petugas pajak yang melakukan modus yang sama,” kata anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Jumat (2/4). Informasi itu diperoleh Bambang ketika bertemu dengan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kamis (1/4) (republika.co.id, 2/4/2010). Bahkan, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan bahwa ada 15.000 aparat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di seluruh Indonesia yang rawan melakukan penyelewengan. Umumnya, mereka berada di bidang pemeriksaan, account representative, juru sita, dan penelaah keberatan dan banding. "Di bidang pemeriksaan ada 4.500 orang, account representative 5.000, juru sita, penelaah, jadi semua bisa 15.000," ungkapnya seusai jumpa pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, (30/3/2010) petang. (kompas.com, 30 Maret 2010
Namun Gayus Tambunan bukan merupakan saksi kunci utama kasus markus pajak Rp 28 miliar. Masih ada sang sutradara yang belum tertangkap. Jika sutradara itu tertangkap, barulah semua pertanyaan kasus ini akan terungkap. “Gayus itu kecil. Jangan terbuai oleh Gayus. Kalau sutradaranya tertangkap baru semuanya akan terjawab,” ujar mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji, Kamis (1/4). Menurut Susno, dalam kasus Gayus, baru Kompolnya yang kena. “Belum Jenderalnya belum, Kejaksaan belum, Pengadilan Negeri Tangerangnya belum, menterinya belum,” kata Susno dalam diskusi bertajuk ’Susno Disayang Susno Ditendang’ di gedung YTKI, Jakarta. (hariansumutpos.com, 2 April 2010)

Jauh sebelum kasus Gayus Tambunan ramai diperbicangkan orang setelah dibuka oleh Komjen Pol Susno Duadji, di bawah tulisan bertajuk “Graft Spirals Out of Control at Tax Office” The Jakarta Pos telah mengungkap kehidupan seorang pegawai biasa di Dirjen Pajak yang mampu membeli BMW seri 5 dengan gaji bulanan hanya Rp 3 juta. Pegawai ini menjelaskan bahwa uang hasil suap dan pemerasan dibagi 25% untuk kolektor, 15% untuk asistennya, kepala seksi 25% dan kepala kantor pajak 30%, yang nantinya kantor pajak akan mendistribusikannya untuk pejabat – pejabat di dirjen pajak. Begitulah kondisi yang terjadi dalam dunia perpajakan di negeri ini. Berbagai survey yang dilakukan juga mempersepsikan Dirjen Pajak sebagai salah satu lembaga terkorup.
Survey Indeks Persepsi Penyuapan (Bribery Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International Indonesia 2005 menempatkan Dirjen Pajak sebagai institusi yang paling banyak menerima suap setelah Bea Cukai. Sebelumnya, pada survey barometer korupsi global 2004 yang dikeluarkan oleh Transparency International, pajak menempati peringkat ke-6 lembaga terkorup di Indonesia. Tahun 2001, Partnership for Governance Reform juga melakukan survey serupa. Survey Nasional mengenai korupsi itu menempatkan Dirjen Pajak di urutan ke 5 sebagai institusi terkorup di Indonesia. (Koran Tempo, 15 April 2005)
Tidak hanya kecurangan dari segi penerimaannya ternyata pengeluaran pajak inipun bukan untuk kepentingan rakyat seperti yang diklaim selama ini. Ichsanudin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan Mantan Anggota DPR) dalam wawancara dengan redaksi Al-Wa’ie mengatakan “Dia lebih banyak digunakan untuk birokrasi dan bayar utang. Kembali kepada masyarakat kan bergerak dalam belanja modal. Itu hanya 80-90 triliun. Kecil sekali. Padahal untuk bayar utang selalu bergerak di atas 115 hingga 170 triliun. Pada saat yang sama kita membuka lapangan kerja bagi asing lewat pinjaman program, dll.” (hizbut-tahrir.or.id,10 Nov 2009)
Padahal APBN dalam Sistem Sekular sangat mengandalkan pajak dari rakyat dan Hutang, terutama dari luar negeri jika tidak mencukupi. Hal ini bisa dilihat dari Pendapatan Negara dan Hib
Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negaraah dalam APBN-P 2010 Indonesia sebesar Rp. 974,8 triliun (www.anggaran.depkeu.go.id), 75 persennya adalah dari pajak yaitu sebesar Rp. 733,2 triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak adalah sebesar Rp. 239,92 triliun (25 % dari total pendapatan Negara dan Hibah).
Semua kenyataan di atas menjadi bukti bobroknya sistem sekuler buatan manusia. Semua pengaturan kehidupan yang dibuat oleh manusia sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Sementara mereka yang tidak bisa ambil bagian dalam membuatnya juga berupaya mencari celah agar kepentingannya bisa terakomodasi dengan peraturan yang ada. Terjadilah tarik menarik kepentingan dan rakyat hanya menjadi obyek pelengkap penderita yang tak berdaya menghadapi berbagai beban yang ditimpakan kepada mereka. Bagaimana dengan sistem Islam dalam mengatur pengelolaan pendapatan dan belanja negara?
APBN Negara Khilafah
Memang kalau kita menilik ke dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal istilah kata APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga yang tak terpisahkan dalam Struktur Khilafah untuk mengatur penerimaan dan pegeluaran negara yang dikenal dengan Baitul mal (Zallum, 1983). Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah berikutnya, hingga kehancuran Khilafah di Turki tahun 1924. Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya.
Berbeda dengan APBN dalam sistem sekuler, Baitul Mal di dalam sistem Khilafah justru lebih dahulu mengandalkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak membebani masyarakat yang ternyata menghasilkan potensi pendapatan negara yang sangat besar dan mencukupi pembiayaan negara, sehingga menghutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan oleh Khilafah karena banyaknya bahaya yang akan didapat dari hutang luar negeri.
Bila kita merunut potensi pendapatan dari kekayaan alam Indonesia ternyata teramat mencukupi untuk membiayai belanja negara, tetapi ternyata diserahkan kepada asing. Di sektor tambang seperti emas, misalnya, penerimaan Pemerintah dari pembayaran pajak PT Freeport yang menguasai tambang emas di Bumi Papua pada tahun 2009 hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya US$ 128 juta dan dividen sebesar US$ 213 juta. Padahal PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih pada 2009 sebesar US$ 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi. Sebab, pada dasarnya kita tidak tahu berapa persis hasil dari emas Papua itu.
Di sektor migas, penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp 120,5 triliun. Itu tentu hanya sebagian kecilnya. Yang mendapatkan porsi terbesar adalah pihak asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah berada dalam cengkeraman pihak asing. Tentu, itu belum termasuk hasil-hasil dari kekayaan barang tambang yang lain (batubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah. Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya, Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp 8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini. Belum lagi jika negara memperhitungkan hasil laut, hasil hutan dan sebagainya yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara), kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya.

Sumber harta Baitul Mal
Islam tidak hanya mengatur sebab-sebab perolehan harta bagi individu, akan tetapi Islam juga mengatur sumber pemasukan dana/harta bagi Baitul Mal. Dalam hal sumber dana Baitul Mal ada dua hal yang harus dibedakan yaitu antara sumber-sumber pendapatan negara dengan sumber-sumber keuangan negara. Dua perkara ini berbeda, kalau sumber-sumber pendapatan negara adalah pos-pos yang memang menjadi hak milik negara (Khilafah) dalam hal perolehan, pengelolaan, dan pendistribusiannya. Sumber pendapatan negara itu adalah pos fa’i & kharaj (meliputi : ghanimah, kharaj, tanah, jizyah, fa’i dan pajak). Sedangkan sumber keuangan negara adalah sumber-sumber pemasukan yang dikelola oleh negara tetapi bukan milik negara, terhadap pos pemasukan ini negara hanya mengelola saja, penggunaan/pendistribusian mutlak untuk kemashlahatan umum. Yang termasuk sumber keuangan negara adalah pos bagian kepemilikan umum. Sedangkan pos zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal karena hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf yang telah disebutkan dalam Al Qur’an (An Nabhani,1990).
Pajak dalam Pandangan Islam
Dalam pos fa’i & kharaj memang meliputi juga pajak. Namun pajak dalam sistem Islam berbeda dengan sistem sekuler. Pajak (dharibah) dalam Islam adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi Baitul Mal tidak ada uang. Pada dasarnya terdapat pemasukan rutin bagi Baitul Mal. Namun dalam kondisi dimana harta di Baitul Mal tidak mencukupi berbagai pembiayaan yang harus ditanggung oleh negara dan bila tidak dibiayai dapat menimbulkan kemudharatan seperti pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer, pembiayaan para fuqara, orang - orang miskin dan ibnu sabil, pembiayaam gaji, para pegawaiyang bekerja untuk kemaslahatan kaum Muslim, pembiayaan untuk kemshlahatan umat, serta untuk keadaan darurat seperti bencana, maka kewajiban pembiayaan itu akan beralih kepada kaum Muslim. Karena Allah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim. Rasulullah bersabda ” Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling membahayakan).” (Zallum, 2002)
Pajak hanya diwajibkan berdasarkan pada besarnya kebutuhan dan kemampuan memenuhi pembelanjaan negara. Dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya atau berusaha menambah pemasukan Baitul Mal. Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Demikian pula negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadlan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah, pengurusan surat – suratnya, gedung – gedung, atau timbangan atas barang dagangan. Dengan mewajibkan berarti telah berlaku zhalim dan ini dilarang. Bahkan termasuk dalam tindakan memungut cukai (al-Maksu), seperti sabda Rasulullah saw:


لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسِ
Tidak akan masuk surga orang – orang yang memungut cukai.(HR. Hakim)
Pengeluaran/peruntukan Baitul Mal
APBN dalam sistem sekular, pemasukan dari berbagai sumber dilebur menjadi satu tanpa melihat dari mana asalnya apakah dari kepemilikan umum atau negara, dan memang demikian adanya aturannya setelah semua pemasukan dilebur menjadi satu, baru digunakan untuk berbagai pembiayaan negara. Jadi misalnya, tidak ada peraturan bahwa kalau pemasukan A hanya diperuntukkan untuk pembiayaan A saja contohnya.
Sedangkan dalam konsep Baitul Mal, pendapatan Baitul Mal diperoleh sesuai dengan hukum-hukum syara’, maka peruntukkan/pengeluarannya pun harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ yang bersifat qathi’/pasti :
1. Bagian fa’i dan kharaj untuk membiayai : seksi dar al-khilafah, sek
Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negarasi mashalih daulah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat, dan seksi anggaran belanja negara-pengendalian umum-badan pengawas keuangan (BPK). (Zallum, 2000).
2. Bagian pemilikan umum untuk membiayai : seksi jihad, Biro mashalih daulah/pelayanan publik, seksi penyimpanan harta milik umum dan untuk seksi urusan darurat/bencana alam. (Zallum, 2000).
3. Bagian shodaqoh/zakat untuk : seksi jihad fi sabilillahi, seksi penyimpanan harta zakat, 8 golongan ashnaf (Q.S. At-Taubah: 60).


Khatimah
Disamping dengan pengaturan sumber pemasukan dana/harta dan pembelanjaan harta bagi Baitul Mal dimana pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, Islam juga telah memiliki aturan yang bisa mencegah terjadinya korupsi seperti dengan sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, teladan dari pemimpin, dan pengawasan masyarakat.
Apa yang terjadi di dunia perpajakan negeri ini seharusnya membuka mata kita bahwa sistem sekuler yang bobrok ini harus segera ditinggalkan dan menggantinya dengan sistem Islam melalui tegaknya institusi Khilafah yang telah terbukti selama berabad – abad berhasil memelihara kehidupan manusia.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (TQS. Al-Anfal : 24-25)Allahu a’lam bishshawab



Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara Sumber pendapatan negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar